Saturday, January 02, 2010

"Gitu Aja Kok Repot"-nya Gus Dur

Sabtu, 2 Januari 2010 | 04:45 WIB

Abdul Munir Mulkhan

Pernyataan yang sering dipakai Gus Dur untuk mengomentari persoalan, sikap seseorang, atau lembaga, ”Gitu aja kok repot”, mengesankan sikap permisif. Mungkin itu pula komentarnya terhadap ribuan pelayat dan penziarah yang ingin mendekap makamnya.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, orang seperti Gus Dur tentu mulus melewati berbagai sensor malaikat di alam kubur. Boleh jadi seloroh penuh makna itu merupakan kunci suksesnya juga di alam pascaduniawi ini.

Menjelang malam tiba saat matahari melangkah ke pintu peraduannya hari Rabu, 30 Desember 2009, Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-4 RI, berpulang ke haribaan Allah, meninggalkan kita semua dalam labirin kehidupan tanpa ujung. Namun, seloroh dan canda guraunya yang selalu membuat pendengarnya tertawa lepas tercerahkan sehingga tak pernah lupa lelucon segarnya, bukan hanya karena lucu, tetapi juga karena penuh makna, akan selalu menyertai kita pada hari- hari menyusuri lorong tersebut. Tampak samar, tetapi jelas secercah cahaya di ujung labirin yang disulut Gus Dur itu bagaikan Sang Guru di depan ruang kelas yang sedang mengajar tentang kemanusiaan dan kebangsaan.

Begitulah, kenyelenehan Gus Dur sering melahirkan beragam tafsir yang keliru atau sama-sama benar ketika kata dan kalimat yang beliau pakai menerobos pemaknaan konvensional. Orang sering itu sebut sebagai perilaku ”wali” yang nyulayani adat (unik) atau tampilan manusia bukan hanya di maqam (tahapan sufi) tertinggi, tetapi juga melampaui maqomat.

Gus Dur dengan penuh percaya diri mengaku sebagai memiliki darah China, Dayak, Pasundan, Batak, darah segala suku dan etnis yang terasa aneh dan tidak masuk akal bagi banyak orang. Namun, itulah cara Gus Dur berempati dengan segala ragam budaya dan etnisitas, juga religiusitas. Tokoh puncak NU ini dengan enteng menyatakan kekagumannya kepada tradisi organisasi Muhammadiyah, akan mengembangkan tradisi itu saat berhadapan dengan aktivis gerakan ini tanpa kehilangan ke-NU-annya.

Syekh Siti Jenar

Wafatnya Gus Dur menyentak kita semua meski sudah cukup lama beliau sakit. Suasana itu membawa penulis menerawang ke masa pertama bertemu di sebuah hotel di kawasan Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, sebelum Gus Dur menjabat Ketua PB NU. Kenangan ini menuntun penulis ke masa-masa bercanda di sekeliling meja kerja Gus Dur di kantor PB NU bersama Ahmad Dhani, Holland Taylor (CEO LibForAll), dan beberapa wartawan.

Cengkerama sesaat setelah LibForAll Foundation memberi penghargaan kepada si Raja Dewa, Ahmad Dhani, tiba-tiba disela pernyataan seorang teman, ”Gus, inilah orang yang memopulerkan kembali Syekh Siti Jenar!” sambil menunjuk dan menyebut nama penulis. Gus Dur berkata, ”Mas Mulkhan!” begitu Gus Dur memanggilku, ”dari garis ayah, saya ini keturunan Syekh Siti Jenar lho!” Saya pun segera menimpali, ”Wau, kalau begitu Gus Dur sesat!” setengah menghardik walaupun jujur saya sedikit khawatir menunggu reaksinya. ”Biar saja, gitu aja kok repot,” kata Gus Dur seperti tak peduli yang membuat kami semua tertawa lepas. Inilah keunikan sikap Gus Dur yang sulit dicari padanannya di negeri ini.

Beberapa tahun kemudian, penulis bertemu kembali dengan Gus Dur dalam seminar tentang Pancasila di Universitas Parahyangan, Bandung. Tiba gilirannya, Gus Dur menjelaskan bahwa dirinya adalah keturunan raja-raja Pasundan. Ketika seorang ahli sejarah Pasundan meragukan dan meminta informasi tentang referensi kebenaran pernyataan Gus Dur tersebut, dengan enteng Gus Dur menjawab bahwa sumbernya ialah Ki Juru Kunci. Mendengar penjelasan tersebut, peserta seminar pun tertawa lepas. Lebih lanjut, Gus Dur menjelaskan bahwa dirinya merupakan keturunan Kiai Kasan Besari dari Tegalsasi Ponorogo, guru sang pujangga Ronggowarsito.

Tak mau kalah dengan Gus Dur, penulis segera berkata, ”Jelek-jelek Gus, saya ini adalah cucu buyut Kiai Kasan Besari.” Mendengar itu, Gus Dur hanya berdehem kecil. Penulis melanjutkan, ”Jika Gus Dur bertanya apa buktinya, buktinya adalah Ki Juru Kunci.” Spontan Gus Dur berkata, ”Wah, yen ngono awake dewe iki sih sedulur, sih sedulur! (Wah, kalau begitu kita ini masih saudara/ keluarga!).”

Beberapa minggu kemudian muncul tulisan Gus Dur di sebuah harian ibu kota tentang Islam kebangsaan dan kemanusiaan. Dari Kiai Kasan Besari itu, urai Gus Dur dalam artikel itu, lahir generasi Islam kebangsaan dan kemanusiaan melalui dua alur, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dari alur NU lahir beberapa ulama besar yang menurunkan tokoh seperti Gus Dur sendiri. Sementara dari alur Muhammadiyah, menurut Gus Dur, menurunkan elite gerakan seperti Kahar Muzakkir, Syafii Ma’arif, dan penulis sendiri. Begitulah gaya Gus Dur menjelaskan nilai-nilai Pancasila dan Islam yang rumit menjadi sebuah kisah yang yang mudah dicerna, diingat, dan dipahami oleh semua kalangan.

Nasionalisme Islam yang humanis, toleran, dan pluralis, menurut Gus Dur, bisa dilacak dari kisah sejarah dan legenda tentang Kiai Kasan Besari tersebut. Itulah barangkali salah satu warisan paling berharga Gus Dur yang perlu dicermati dan dikembangkan.

”Selamat jalan, Gus!” Semoga kelak kita dipertemukan dalam perjamuan Tuhan di kampung surgawi. ”Gitu aja kok repot!”

Abdul Munir Mulkhan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Mantan Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Anggota Komnas HAM

Warisan Gus Dur

Sabtu, 2 Januari 2010 | 04:46 WIB

Jaya Suprana

Gus Dur telah tiada. Terlalu banyak kenangan dan pelajaran yang saya peroleh dari sahabat dan mahaguru yang sangat saya hormati, kagumi, dan cintai itu. Dari Gus Dur, saya mewarisi wawasan kearifan mengenai makna kenegaraan, keagamaan, dan kemanusiaan dalam hakikat yang murni dan sejati.

Saya terkenang bagaimana ketika menempuh perawatan hemodialisis akibat telah mencapai tahap gagal ginjal terminal, Gus Dur tampak selalu segar bugar, ceria, dan tetap bersemangat berkisah dirinya sempat resmi dituntut sebuah ormas untuk diadili dengan tuduhan menghina agama Islam lewat pernyataan bahwa Al Quran adalah kitab suci pornografis. Ketika saya menganggap tuduhan itu tidak benar, Gus Dur malah dalam gaya biarnisme nakal membantah: ”Biar saja, biar rame!”

Socrates

Gus Dur selalu mengingatkan saya kepada filsuf Yunani—tepatnya Athena— tersohor, Socrates, yang—menurut Plato— gemar melontarkan komentar-komentar humoristis yang sering keliru ditafsirkan sejumlah pihak tidak mau dan/atau tidak mampu memahami kandungan makna yang sebenarnya amat luhur.

Kini telah disepakati bahwa Socrates salah seorang filsuf terbesar yang pernah hidup di Planet Bumi ini dengan pengaruh signifikan terhadap pemikiran peradaban dan kebudayaan Barat. Namun, pada masa hidupnya menjelang akhir abad III sebelum Masehi, Socrates dicurigai, dicemooh, dikecam, dan dihina sebagai insan eksentrik suka bicara ngawur. Bahkan, akibat lontaran komentar yang keliru ditafsirkan, Socrates dituduh menghina agama dan lembaga penguasa hingga akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh dewan juri pengadilan kota Athena pada tahun 399 sebelum Masehi.

Sementara itu, di Indonesia, pada tahun 2001 setelah Masehi, akibat berbagai sikap, perilaku, dan komentar yang keliru ditafsirkan, Gus Dur memang tidak dihukum mati, tetapi dipaksa lengser dari jabatan Presiden oleh MPR dan DPR yang pada masa itu masih memiliki kekuasaan untuk dengan sangat mudah melengserkan presiden.

Semasa hidup, Socrates dibenci kaum penguasa kota Athena sebab terlalu lantang dan terlalu terbuka melempar kritik terhadap sikap dan perilaku demokrasi semu pemerintah Athena. Demikian pula pada masa rezim Orde Baru, Gus Dur juga dibenci mereka yang sedang berkuasa akibat ketua ormas Islam terbesar di dunia ini berani mengkritik kediktatoran penguasa Republik Indonesia. Begitu benci rezim Orba terhadap Gus Dur, sampai konon muncul instruksi rahasia untuk—sama dengan Socrates—membunuh Gus Dur, tetapi—beda dari Socrates—sebelum niat itu terlaksana, rezim Orba telanjur lengser.

Akibat aneka ragam komentar kontroversial, Socrates dibenci dewan perwakilan warga Athena. Sama halnya dengan Gus Dur jahil menyamakan para anggota DPR dengan murid TK sebagai penyulut sumbu kebencian DPR terhadap Presiden!

Plato

Di dalam apologi tersirat kekaguman Plato terhadap Socrates sebagai tokoh yang berani menyatakan yang benar sebagai benar, yang keliru sebagai keliru, dan berani mengambil langkah-langkah kontroversial demi mempersembahkan yang terbaik bagi rakyat Athena. Sama halnya dengan para tokoh cendekiawan dan budayawan nasional dan internasional yang kagum terhadap sosok Gus Dur yang selalu gigih maju tak gentar menerjang kemelut deru campur debu bepercik keringat, air mata, dan darah demi menegakkan kebenaran di bumi Indonesia.

Pada masa Orba, Gus Dur paling berani secara terbuka memprotes kezaliman pemerintah. Hanya Gus Dur yang berani secara terbuka membela Arswendo Atmowiloto ketika menjadi korban ketidakadilan. Hanya Gus Dur yang berani membela kaum minoritas tertindas di Indonesia masa Orba kemudian setelah menjadi Presiden nyata memperjuangkan hak-hak kaum minoritas!

Hanya Gus Dur yang sadar bahwa urusan sosial dan pers sebenarnya bukan urusan pemerintah tetapi masyarakat sendiri, maka membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Namun— sama dengan nasib Socrates—perjuangan Gus Dur membela kemanusiaan dan menegakkan kebenaran di persada Nusantara sering tidak atau sulit dipahami masyarakat semasa hingga sering keliru ditafsirkan sebagai ulah negatif bahkan destruktif. Cuap-cuap Socrates menjengkelkan kaum penguasa kota Athena, sementara ceplas-ceplos Gus Dur ketika menjadi Presiden sangat ditakuti pimpinan Bank Indonesia sebab dianggap rawan mengguncang stabilitas moneter dan ekonomi nasional!

Sama dengan Socrates, Gus Dur semasa menjadi Presiden dituduh eksentrik, ngawur, bahkan membahayakan negara dan bangsa hingga akhirnya—meski tidak dibunuh seperti Socrates—dilengserkan dari jabatan kepala negara! Gus Dur layak masuk MURI sebagai orang yang paling sering dikelirutafsirkan, terbukti namanya saja sering disebut ”Pak Gus Dur” akibat keliru tafsir bahwa ”Gus Dur” sebuah nama, padahal istilah ”Gus” sebenarnya sebutan dialek Jawa Timur berbobot sudah sama terhormat dengan ”Pak”.

Warisan pesan

Dalam salah satu perjumpaan terakhir dengan sahabat dan mahaguru yang sangat saya hormati, kagumi, dan cintai, saya sempat bertanya mengenai apa sebenarnya yang keliru pada bangsa dan negara Indonesia pada masa kini. Gus Dur menghela napas sejenak lalu berkisah sebuah hadis Al Sukuni meriwayatkan dari Abu Abdillah Al Shadiq, ”Ketika Nabi Muhammad SAW menyambut pasukan sariyyah kembali setelah memenangkan peperangan, Beliau bersabda: ’Selamat datang wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil tetapi masih harus melaksanakan jihad akbar!’ Ketika orang-orang terheran-heran lalu bertanya tentang makna sabda itu, Rasul SAW menjawab: ’Jihad kecil adalah perjuangan menaklukkan musuh. Jihad akbar adalah jihad Al-Nafs, perjuangan menaklukkan diri sendiri!”

Terima kasih dan selamat jalan, Gus Dur!

Selamat berjuang, bangsa Indonesia!

Jaya Suprana Sahabat dan Murid Gus Dur